Minggu, 02 Agustus 2009

siapapun, apapun, dimanapun, jadilah fotografer


ika kita mau “membaca”, waktu bisa bicara banyak hal. Demikian pula pada fotografi yang bukan saja merupakan proses kreatif, melainkan juga proses sejarah kehidupan. Teknologi fotografi bermula dari keinginan manusia yang nyatanya memang menjadi tuntutan kebutuhan dalam pendokumentasian, untuk bisa merekam gambar sepersis mungkin.

“Membaca” pada fotografi lebih dari sekedar melihat. Membaca merupakan pendokumentasian dengan proses menganalisa yang dimulai dari melihat, merasakan, memikirkan, barulah otak mengambil keputusan memerintahkan otot motorik menggerakkan anggota badan untuk melakukan sebuah pendokumentasian.

Jika pendokumentasian peradaban telah mulai dilakukan manusia pada lima ribu tahun lalu, nyatanya “revolusi” pendokumentasian dengan fotografi baru sekitar dua abad belakangan saja dapat dilakukan. Niscaya didahului dengan tindakan-tindakan kreatif serta adanya pemikiran-pemikiran yang revolusioner.

Lahirnya teknologi digital menawarkan cara mewujudkan perupaan baru. Kemudahan-kemudahan teknik pembuatan fotografi yang ditawarkannya memungkinkan seorang fotografer lebih berkonsentrasi pada aspek gagasan dan perupaan. Konsep yang dulu milik seni rupa kini lebur dalam fotografi digital. Batasan seni dan bukan seni bagi fotografi bagaikan tak penting lagi diperdebatkan.

Lain halnya dengan konsep. Banyak yang membuat karya foto dengan obyek budaya atau alam Indonesia, tetapi mengapa jarang terlihat aliran seni foto dengan konsep lokalitas asli Indonesia yang dengan sengaja dimunculkan? Mengapa hanya kecanggihan alat yang selalu diperdebatkan? Padahal untuk menghasilkan sebuah karya tidak bergantung pada alat apa yang digunakan. Sisi lainnya yakni bahasa perupaan yang menjadi “isi” karya tersebut adalah hal yang sebenarnya memaknai kehadirannya.

Tapi jika memang alat rekam gambar yang dipersoalkan, asal dengan kesungguhan untuk meningkatkan kemampuan visi, misi, imajinasi, dan fiksi, hanya dengan menggunakan kamera HP, kamera Scanner, bahkan kaleng atau dus bekas, kita bisa menghasilkan karya yang luar biasa.

Selanjutnya, kreativitas dan inovasi para fotografer Indonesia sendiri yang niscaya bisa memberikan jawaban bahwa fotografi Indonesia (pernah) dan patut diperhitungkan.Semoga.....
Ray Bachtiar Dradjat


*yayaya, percaya bahwa siapapun kalian akan menjadi pengukir sejarah lewat gambar cahaya, karena moment sekecil apapun tidak akan terulang. ayo mulai jadi fotografer tanpa kamera sekalipun. *biabia

1 komentar:

*biabia mengatakan...

ini blog bia yang baru, silahkan yang mau komentar. setiap bulannya ada hadiah menarik bagi yang memberikan komen paling aktif dan produktif. hadiahnya doa agar kalian bisa membeli blackberry dengan uang kalian masing-masing.
*bia